Oleh : Armin Mustamin
Toputiri
Meski keseluruhan pernah saya baca dalam beberapa edisi Edisi Khusus Majalah Mingguan Tempo, tapi ketika diterbitkan bentuk buku (KPG, 2010), saya menghabiskan waktu sepekan lagi menuntaskan bacaan ulang empat judul buku --- serial “Bapak Bangsa” --- dimaksud. (1) Sukarno, “Paradoks Revolusi Indonesia”. (2) Hatta, “Jejak yang Melampaui Zaman”. (3) Sjahrir, “Peran Besar Bung Kecil”, dan (4) Tan Malaka, “Bapak Republik yang Dilupakan”.
Keempat
“Bapak Bangsa” yang diulas dalam empat judul buku itu, di negeri ini nyaris tak
seorang pun tak mengenal mereka. Soekarno dan Hatta, sang proklamator
kemerdekaan, Presiden dan Wakil Presiden RI yang pertama. Sutan Sjahrir,
Perdana Menteri RI, pertama. Dan satunya lagi, Tan Malaka, pendiri Partai
MURBA, orang yang pertama merumus konsep NKRI. Namun di negeri ini tak banyak
yang tahu, jika tiga nama terakhir, asal Minangkabau.
Pada
saatnya, saya jujur mengemukakan kecemburuan saya, yang sekian lama terpendam,
sejak saya kanak-kanak. Kecemburuan pada orang-orang Minangkabau, tak lain
karena kampung halaman saya, di tepi Pantai Lapandoso Bua, Kabupaten Luwu, pada
akhir abad ke-16, disitulah pertama kali berlabuh Datuk Sulaiman (Datuk Ri
Pattimang), satu diantara tiga “waliullah” --- asal Minangkabau --- pembawa
ajaran Islam pertama di Sulawesi Selatan. *** Selain tiga nama dari empat
"Bapak Bangsa", serta tiga "waliullah pembawa ajaran Islam
pertama di Sulsel, saya tidak habis fikir, bagaimanakah cara orang Minangkabau
melahirkan orang hebat semisal Agus Salim (Agam, 1884), mantan Menteri Luar
Negeri RI, saat Kabinet Amir Sjarifuddin dan Kabinet Hatta, Perdana Menteri RI
kelima, M. Natsir (Alahan Panjang, 1908). Moh. Yamin (Sawahlunto, 1903),
perumus teks Sumpah Pemuda dan Pancasila. Juga Rasuna Said (Maninjau, 1910),
pejuang persesamaan laki-laki dan perempuan. Belum lagi menyebut ulama
terkemuka, Buya Hamka (Maninjau, 1908), Ketua Umum MUI, penulis novel
"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck". Juga ada Marah Roesli (Padang,
1889), sastrawan Angkatan balai Pustaka, penulis roman "Siti
Nurbaya". AA Navis (padang 1924), sastrawan penulis novel "Robohnya
Surau Kami". Taufiq Ismail, penyair Angkatan 66, diantara kumpulan
puisinya "Tirani dan Bentang". Serta banyak lagi lainnya. Berdasar misal
kesemua figur unggul itu, jujur kita harus mengakui, sekaligus kecemburuan,
bahwa Minangkabau memang terlanjur menjadi sumber --- “reproduksi” --- produksi
orang-orang cerdas dan maha penting di negeri ini. “Bagaimanakah mungkin itu
bisa terjadi?”.
Demikian saya nyatakan pada sejumlah tokoh
muda Minangkabau, sewaktu saya memberi pembekalan Orientasi Pengurus DPD KNPI
Sumatera Barat, di Padang, tahun 2007, lalu. *** Pernyataan yang saya kemukakan
secara terbuka di hadapan puluhan tokoh muda Minang “Bagaimanakah mungkin itu
bisa terjadi?” --- mungkin diketahui pembicara sesudah saya, Indra Jaya
Piliang, seorang anak muda Minang yang belakangan menonjol kecerdasannya ---
oleh tokoh muda Minang, juga tak paham menjawabnya harus mulai dari sisi mana.
Padahal saya ingin mereka harus tahu, tak lain karena negeri ini merindukan
tokoh sekaliber mereka.
Tertantang
kenyataan demikian, saya kemukakan tekad saya pada sejumlah tokoh muda Minang,
jika kelak suatu waktu saya punya duit, punya waktu dan punya kesehatan, saya
ingin berkelana di bumi bekas Kerajaan Pagaruyung ini. Saya ingin mencari
pengobat rindu atas kecemburuan itu. Saya berhasrat --- meski saya bukan
peneliti --- ingin tahu bagaimana cara orang-orang Minangkabau “mengerami”
lahirnya anak-anak bangsa secerdas mereka. Dan sebelum tekad saya terkabul
berkelana ke Nagari Minang, secara sederhana saya coba telusuri serpihan dan
kepingan tradisi budaya Minangkabau, saya temukan pijakan awal. Pelecut
utamanya tak lain karena di Minangkabau --- satu etnis yang mendiami wilayah
Sumatera Barat sekitarnya --- dianut sistem “matrilinial” (silsilah berdasar
garis ibu). Ibu sedikit banyaknya memiliki otoritas mengasuh untuk melecut
kedigjayaan seorang anak. *** Faktor lain, karena dalam sistem “matrilinial”,
ada disebut “Harta Pusaka Tinggi”, harta milik keluarga yang diperoleh turun
temurun melalui garis ibu. Harta ini tidak boleh dijualbelikan, sangat
terkecuali karena ada empat hal. Satu diantaranya “mambangkik batang tarandam”
(membongkar kayu yang terendam). Maksudnya, hanya bisa jika biaya pesta tak ada
untuk pengangkatan penghulu (datuk) atau biaya sekolah anggota kaum ke tingkat
lebih tinggi. Hal lain lagi, karena daerah Minangkabau memiliki banyak “nagari”
--- daerah otonom yang memiliki kekuasaan tertinggi --- dipimpin sebuah dewan
disebut “Karapatan Adat Nagari”.
Faktor
inilah pendorong dinamika masyarakat Minang untuk berkompetisi secara konstan
untuk mendapatkan status dan prestise. Setiap kepala “nagari” berlomba
meningkatkan status dan prestise keluarga kaumnya. Mendapatkan harta dan sekolah
setinggi-tingginya. Mungkin sebab karena itu, tradisi perantau membias
bertumbuhkembang dalam kehidupan masyarakat Minang untuk mengadu nasib di
negeri orang. Selain berdagang, juga menuntut ilmu. Itulah cara ideal mencipta
kematangan sekaligus prestise akan kehormatan individu di tengah lingkungan
adat. Tradisi merantau ini, pada motif hias Miang, dikenal istilah “itiak
pulang patang”.
Anjuran
merantau, mengadu nasib, pulang petang hari bawa kesuksesan. *** Satu lagi sisi
paling spektakuler, rumah gadang khas Minangkabau itu, ternyata hanya dihuni
orangtua, anak gadis dan anak balita. Sementara anak laki-laki, sejak akil
baliq bermukim di surau. Dari surau inilah awal mula pribadi dan karakter orang
Minangkabau dibentuk. Selain belajar mengaji, bela diri randai, petitih
Minangkabau, dan ilmu pengetahuan lainnya, untuk ditempa menjadi pribadi
tangguh yang siap menanggung beban amanah di kemudian hari. Saya memamahami
sistem dan metode pendidikan surau seperti ini, tidak lebih kurang tiga fase,
secara pribadi saya pernah mengalaminya. Pertamakali ketika ikut mengaji dan
kajian di kampung. Hal sama kedua kalinya, ketika masa remaja ikut pendidikan
“mondok” selama enam tahun di Makassar, dan ketiga kalinya masa mahasiswa saat
terlibat di HMI Makassar. Sebab kaitan itu, kecemburuan saya pada orang-orang
Minangkabau, tak pudar dan surut. Terlebih lagi, pesan disampaikan seorang anak
gadis Minangkabau ketika saya berkunjung ke Padang, tahun 2007 lalu --- seperti
saya tuliskan di awal catatan ringan ini --- masih lekat teringat dalam benak
saya. “Kalaulah ajaran adat dapat didalami dan difahami dengan baik, serta
diamalkan di tengah masyarakat, maka masyarakat itu kelak akan tinggi mutunya”.
Makassar, 27 Pebruari 2011